Masih dalam rangka keagamaan, hari ini saya akan
memberikan contoh makalah tentang Ridho. Oya, kira kira agan2 dah tahu gk
pengertian ridho? Hehehe yaudah dech langsung aja dibaca dan semoga bermanfaat
yah..........
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Telah menjadi sunnatullah bahwa setiap kejadian, mengandung kausalitas
dan hikmah. Ada sebab dan ada akibat, disamping bertujuan. Adalah mustahil
suatu cita-cita berhasil hanya dengan modal hayal dan bermalas-malas, tanpa
suatu kerja dan usaha. Maka wajib ada factor usaha atau ikhtiar dan
bertanggungjawab dari manusia. Usaha dan doa adalah kewajiban manusia, tetapi
kepastian terakhir ada di tangan Allah (Nasruddin Razak: 1973: 221) Sebab Tuhan
bukan semata-mata sebagai Causa Prima (Sebab Pertama)
dan Ultimate yang principal, tetapi lebih dari itu, Dia adalah inti
kenormatifan (Amien Syukur: 2004: 44) yang harus diimbangi dengan gerak
kreatifitas manusia (ikhtiar- kasb). Persoalan seputar inilah yang di dalam
terminology tauhid dikenal dengan istilah Qadha dan Qadar Allah.
Kepercayaan pada taqdir memberikan keseimbangan jiwa, tidak berputus
asa karena sesuatu kegagalan dan tidak pula membanggakan diri atau sombong
karena kemajuran, sebab segala sesuatu tidak hanya bergantung pada diri
sendiri, malainkan juga kepada keharusan universal, mengembalikan segala
sesuatu pada Allah SWT. “agar kamu tidak berputus asa atas kemalangan yang
menimpamu, dan tidak pula terlalu bersuka ria dengan kemujuran yang datang
padamu” (QS. Al-Hadid (57): 23.)
Kesiapan yang berimbang antara mendapatkan nikmat dan niqmah
(cobaan) inilah yang harus dimiliki oleh semua orang. Namun sering kali
manusia hanya siap untuk menerima nikmat, dan tidak siap untuk menerima cobaan
dan ujian Allah swt, disinilah diperlukan adanya Ridho dalam menerima
semua ketentuan Allah SWT.
Ridho merupakan makom atau stasiun-stasiun yang harus
dilewati oleh seorangsalik (pencari jalan Tuhan) setelah ia dapat melewati
fase taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, dan cinta. (Amin
Syukur: 1999: 49).
1.2 Rumusan
Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, adapun rumusan masalah pada
makalah ini adalah :
1. Apa pengertian ridho?
2. Bagaimana Menerima Ketentuan Allah
dengan Lapang Dada?
3. Bagaimana Bercermin pada Hati Nurani
untuk mencapai Ridha?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian ridho.
2. Untuk mengetahui bagaimana Menerima Ketentuan
Allah dengan Lapang Dada.
3. Untuk mengetahui bagaimana Bercermin
pada Hati Nurani untuk mencapai Ridha.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Ridho
Ridho adalah kata sifat yang mudah diucapkan, namun juga kata kerja yang
sulit dilakukan. Ridho terhadap ketentuan Allah SWT secara mutlak berarti
tidak menunjukkan keengganan ataupun penentangan terhadap takdir-Nya, manis
atau pahit. Abdullah ibn Alwi ibn Muhammad al-Haddad al-Husaini (tt: 37)
mengatakan:
“Ridho terhadap ketetapan Allah adalah buah termulya dari Mahabbah dan
Ma’rifah. Salah satu ukuran cinta adalah ridho terhadap perbuatan kekasihnya,
baik itu manis ataupun pahit adanya. Oleh karenanya, ridho dengan makna
yang demikian adalah suatu keniscayaan untuk menyatakan keimanan seseorang
terhadap Tuhan-Nya.
Dalam makna yang lain, Ridho dimutlakkan sebagai sikap senang dan
bahagia bagaimanapun keadaan hidup yang dialami (Ma'luful Anam, Lc: 2010).
Sebagaimana ucapan para arif billah, “Ridho adalah mengeluarkan seluruh
ketidaksukaan terhadap ketentuan takdir dari dalam hati, sehingga tak ada
padanya kecuali rasa senang dan bahagia terhadap ketentuan itu atau ia adalah
kebahagiaan hati dalam merasakan pahitnya takdir sebagaimana merasakan manisnya
atau juga ia adalah menerima hukum ilahi dengan senang hati” (Ahmad Fadlun ZR:
2010: 2).
Al-Samarkandi dalam “Tanbih al-Ghafilin” mengatakan:
“Keputusan Allah itu jauh lebih baik dari pada ketetapan seseorang
terhadap dirinya sendiri, (Ketahuilah wahai anak cucu Adam), apa yang
telah ditetapkan Allah, (namun) kamu benci itu (sesungguhnya) lebih baik dari
pada keputusanmu sendiri yang kamu sukai (Al-Samarkandi: tt: 221).
Rabi’ah al-Adawiyah, Seorang sufi wanita, pernah ditanya,” Kapankah
seorang hamba menjadi Ridho?”, Ia menjawab : “Bila ia merasa bahagia oleh
keburukan (takdir) sebagaimana ia merasa bahagia oleh kenikmatan”. Sebagian
Ulama’ salaf juga mengatakan: Jikalau tubuhku hancur karena sebab penyakit kusta
yang menggerogoti dagingku, itu lebih baik dari pada saya harus mengatakan atas
ketetapan Tuhan: “Seandainya hal ini tidak terjadi?”. (Al-Ghazali: tt: IV:
340).
Ridho atas ketentuan Allah berarti ikhlas dan nrimo atas semua
ketentuan yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat maupun ujian.
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Dien dalam bab al-Qaul fi Ma’na
al-Ridho bi Qadhai Allah wa Haqiqatih wa Ma Warada fi Fadhilatih (tt: IV:
333-345), menjelaskan bahwa Ridho adalah buah dari cinta, Ia
merupakan maqam tertinggi yang dapat mendekatkan diri pada Allah.
Ridho merupakan sababu dawami raf’i al-hijab atau sebab yang
dapat melanggengkan untuk menghilangkan hijab (penghalang) dalam mendekatkan
diri pada Allah SWT.
Walaupun demikian, sebenarnya ridho tidak dapat digambarkan, adapun jika ridho
timbul sebagai akibat dari cinta, mahabbah, bila
gambaran mahabbah dan mabuk cinta, maka tidak dapat disamarkan bahwa
cinta menyebabkan ridho terhadap tingkah dan perbuatan orang yang dicintainya, mahbubih, bahkan
sampai-sampai panca indera tidak dapat merasakan sakit atas luka yang mengenai
tubuhnya, sebab jika hati (al-kalb) telah tenggelam dimabukkan oleh
sesuatu yang mengasikkan, ia tidak dapat merasakan apapun selain hal tersebut.
(al-Ghazali: IV: 337).
Dari
ilustrasi diatas, kemudian bisa menimbulkan rasa “cuek” terhadap apa yang
diperbuat oleh Sang Kekasih, apakah itu baik atau buruk, maka akan diterima
dengan lapang dada dan ridho, sebagai mana ucapan Umar r.a :
“Aku tidak akan perduli, saya akan jadi kaya atau miskin, karena saya
tidak mengetahui mana yang terbaik dari keduanya” (al – Ghazali: IV: tt:
343).
Berbagai terpaan cobaan dan ujian yang diberikan oleh Tuhan, haruslah
senantiasa diterima dengan penuh kerelaan dan lapang dada, karena bukankah
tidak ada seorang mukminpun yang mampu merasakan manisnya iman kecuali dia
memperoleh timpahan bencana, kemudian ia ridho dan bersabar, sabda Nabi
: “barang siapa yang sakit semalam, serta sabar dan ridho kepada Allah
Ta’ala, maka dosa-dosanya bersih, laksana baru dilahirkan
ibunya” (Al-Ghazali: tt: 21).
2.2 Menerima
Ketentuan Allah dengan Lapang Dada
Seorang salik yang sudah bisa menata hatinya dengan ridho, maka ia
tidak menentang cobaan dari Tuhan, tetapi bahkan menerimanya dengan senang
hati. Ia tidak minta masuk surga dan tidak pula minta dijauhkan dari neraka. Di
dalam hatinya tidak ada benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika mala
petaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta pada Tuhan.
Di sini ia telah dekat dengan Tuhan dan ia pun akhirnya sampai ke ambang pintu
melihat Tuhan dengan mata hatinya, untuk selanjutnya ia akan bersatu dengan
Tuhan. (Amin Syukur : 1999: 52).
Bahkan Abu Sulaiman al-Darani mengatakan: “Seandainya semua makhluk dimasukkan
ke dalam Surga, dan aku dijerumuskan ke Neraka, maka aku akan ridho terhadap
hal itu”. (Al-Ghazali: tt: IV; 339).
Sikap menerima segala ketentuan Allah dengan perasaan senang, dan ridho ini
akan membuahkan ridho Allah, dalam sebuah hadits disebutkan:
“Barang siapa yang ridha atas rizqi sedikit yang diberikan oleh Allah,
maka Allah juga Ridha atas amal sedikitnya”.
Walaupun hadits ini dinilai dhaif, (al-Ghazali: IV: tt: 334), namun
hal ini bisa menjadi motivasi bersama bahwa persoalan ridho atas
ketentuan Allah adalah persoalan yang sangat utama. Ridho Allah adalah
dambaan setiap muslim yang menyadari bahwa itulah harta termahal yang pantas
diperebutkan oleh manusia. Tanpa ridho Allah, hidup kita akan hampa, kering,
tidak dapat merasakan nikmat atas segala apa yang telah ada di genggaman kita,
bermacam masalah silih berganti menyertai hidup kita. Harta berlimpah, makanan
berlebih namun ketika tidak ada ridho-Nya, semua menjadi hambar.
Tidak tahu kemana tujuan hidup, merasa bosan dengan keadaan, seolah hari
berlalu begitu saja,begitu cepat namun tanpa disertai dengan perubahan kebaikan
hari demi hari.
Apa sebenarnya ridho Allah?, Mari simak ayat Al-Quran yang membahas hal
ini:
“Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalananan. Itulah yang lebih baik
bagi orang yang mencari keridhaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung”. (QS. Ar-Rum : 38).
Dalam Ayat diatas, ridho Allah ternyata di-lafald-kan
dengan wajha Allah. Sering kita dengar perumpamaan ‘ih orang itu cari
muka [wajah]‘ maksudnya cari perhatian. Demikian pula jika
kita mencari “wajah Allah” atau perhatian Allah atau yang lebih
populer ridho-Nya, maka ada beberapa hal yang mesti kita lakukan, yaitu:
memberikan hak kerabat dekat, hak orang miskin, hak orang yang sedang
dalam perjalanan.
Memberikan hak orang yang dimaksud Allah bukan hanya bisa dilakukan oleh orang
yang kelebihan harta namun bisa dilakukan oleh orang yang sadar dan ikhlas
bahwa letak ketentraman hidup itu ada pada restu, ridho dan rahmat Allah. Boleh
jadi rezeki yang Allah berikan pada kita hanya pas untuk makan sehari hari dan
biaya hidup keluarga, namun ketika Allah telah berkenan memberi ridho-Nya,
rezeki yang pas itu menjadi berkah, sehingga hari hari yang dilalui dalam hidup
penuh dengan rasa syukur.
Orang yang mengenal (ma`rifat) kepada Tuhan, akan merasa
ridho atas apapun yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, selanjutnya iapun
faham apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Nya. Jika orang merasa
hidupnya diridhoi Tuhan maka ia pun merasa dirinya bermakna, dan dengan merasa
bermakna itu, ia merasa sangat berbahagia. Sebaliknya jika seseorang merasa
hidupnya tak diridhoi Tuhan, maka ia merasa semua yang dikerjakanya tidak
berguna, dan bahkan iapun merasa dirinya tak berguna.
Orang yang merasa kehadirannya berguna bagi orang lain maka ia akan memiliki
semangat hidup, semangat bekerja, semangat berjuang, yang berat terasa ringan,
pengorbanannya terasa indah. Sedangkan orang yang merasa dirinya tak berguna
maka ia tidak memiliki semangat hidup, tidak memiliki semangat bekerja, merasa
sepi di tengah keramaian dan lebih sepi lagi dalam kesendirian.
Banyak hadits yang memerintahkan kita untuk selalu ridho atas semua pemberian
Tuhan, daantaranya sebagaimana yang ditulis al-Ghazali, adalah sebagi berikut:
“Hai golongan orang fakir, berikanlah ridho (terhadap ketetapan) Allah
dari lubuk hatimu, maka kamu akan beruntung dengan sebab pahala kefakiranmu,
jika tidak, maka tidak dapat pahala”. (al-Ghazali: IV: tt: 337).
Bahkan, seseorang yang tidak mau ridho atas ketetapan Tuhan, disuruh untuk
mencari tuhan selain Allah:
“Aku adalah Allah, Tidak ada Tuhan selain Aku, siapa yang tidak sabar
terhadap cobaan-Ku, tidak bersyukur terhadap nikmat-Ku, dan tidak ridho
terhadap keputusan-Ku, maka buatlah tuhan selain Aku”. (al-Ghazali: IV:
tt: 337).
Dalam redaksi yang dikutip oleh Abdullah al-Husaini, berbunyi:
“Barang siapa yang tidak ridho terhadap keputusan-Ku, dan tidak sabar
atas cobaan-Ku, hendaklah ia melangkah mencari tuhan selain-Ku. (Abdullah
al-Husaini: tt: 37).
2.3 Bercermin
pada Hati Nurani untuk mencapai Ridha
Semangat mencari ridho Tuhan sudah barang tentu hanya dimiliki oleh orang yang
beriman, sedangkan bagi orang yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama,
maka boleh jadi pandangan hidupnya sesat dan perilakunya juga sesat, tetapi
mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang beragama minus
Tuhan, karena toh setiap manusia memiliki akal yang besa berfikir logis dan
hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.
Metode mengetahui ridho Tuhan juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya
kepada hati sendiri, istafti qalbaka. Al-Ghazali bahkan
memandang bahwa hakikat manusia adalah hati (qalb) (Dr. Simuh: 996:
87), Ia menggambarkan hati manusia sebagai “cermin”, sebagaimana dalam
ungkapannya: “itulah hati, apabila manusia mengenal hatinya, maka
sungguh ia akan mengenal diri pribadinya. Dan apabila ia mengenal diri
pribadinya, maka sungguh ia akan mengenal Tuhannya. Sebaliknya, jika manusia
jahil terhadap hatinya, maka sungguh ia jahil terhadap dirinya, dan apabila ia
jahil terhadap dirinya, maka sungguh ia jahil terhadap Tuhannya. Dan barang
siapa jahil terhadap hatinya, maka terhadap lainnya jauh lebih jahil
lagi” (al-Ghazali : III : tt : 2).
Ungkapan diatas, menunjukkan betapa pentingnya hati, kalbu manusia,
karena orang bisa berdusta kepada orang lain, tetapi tidak kepada hati
sendiri . Hanya saja kualitas hati orang berbeda-beda. Hati yang sedang gelap,
hati yang kosong, hati yang mati tidak bisa ditanya. Hati juga sering tidak konsisten,
oleh karena itu pertanyaan yang pali ng tepat adalah kepada
hati nurani, atau ke lubuk hati yang terdalam. Nurani berasal dari
kata nur, nuraniyyun yang artinya cahaya, yakni “cahaya
ketuhanan” yang ditempatkan Tuhan di dalam hati manusia, nurun yaqdzifuh
Allah fi al- qalb. Jika hati sering tidak konsisten, maka hati nurani selalu
konsisten terhadap kejujuran dan kebenaran. Orang yang nuraninya hidup maka ia
selalu menyambung dengan ridho Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya
nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme dan kemaksiatan.
Persoalan dan problematika hidup manusia memang mengalami pasang surut, susah –
senang, sedih – bahagia, dll merupakan sunnatullah yang memang harus
dihadapi dengan lapang dada. Karena sudah menjadi hal yang lumrah bahwa semua
yang terjadi pasti terkandung hikmah, adapun hikmah dibalik sikap ridho atas
semua ketentuan Allah itu adalah:
a.
Membersihkan dan memilih mana orang mukmin sejati dan orang munafiq;
b.
Mengangkat derajad dan menghapus dosa;
c.
Mengungkapkan hakikat manusia itu sendiri, sehingga Nampak jelas kesabarannya
dan ketaatannya;
d.
Membentuk dan menempa kepribadiannya menjadi pribadi yang benar-benar tahan
menderita dan tahan uji;
e.
Latihan dan pembiasaan dalam berprinsip. (Hajjudin Alwi: 200: 43).
Untuk mencari ridho Allah, para kaum sufi senantiasa mewirid-kan do’a yang
berbunyi:
“Oh Tuhanku, Engkaulah Tujuanku dan ridha-Mulah yang kucari.
Anugerahilah aku akan cinta kasih-Mu dan ma’rifat-Mu” (Kharisudin Aib:
999: 96)
Kisah Wafatnya Al Qomah r.a. (Ridho
Seorang Ibu) :
Dikisahkan, pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada seorang
pemuda bernama ‘Alqamah. Ia seorang yang menghabiskan waktunya untuk
beribadah kepada Allah Ta’ala, mengerjakan sholat, shiam, dan bersedekah.
Suatu hari ia sakit dan semakin hari semakin parah. Istrinya pun menyuruh
seseorang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk
menyampaikan, “Suamiku, Alqamah sedang sekarat. Dengan ini aku bermaksud
mengabarkan keadaannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus ‘Ammar,
Shuhaib dan Bilal. Beliau bersabda, ”Berangkatlah kalian, dan talqinkanlah
ia dengan kalimat syahadat.” Mereka bertiga berangkat dan memasuki
rumahnya. Mereka mendapati ‘Alqamah sedang sekarat sehingga dengan segera
mereka mentalqinnya dengan ucapan ‘Laa ilaaha illalLah’. Namun lidah ‘Alqamah
kelu, tak mampu mengucapkan kalimat syahadat. Sahabat bertiga menyuruh
seseorang menemui Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam mengabarkan
bahwa ‘Alqamah tidak mampu mengucapkan kalimat syahadat.
Nabi
bertanya, “Adakah salah seorang ibu-bapaknya yang masih hidup?” seseorang
menjawab, “Wahai Rasulullah seseorang ibu yang sudah sangat renta.” Maka
beliaupun mengutus seseorang dan berpesan, “Katakan kepadanya jika ia kuat
berjalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggilnya. Namun jika
tidak hendaknya ia tetap tinggal dirumah, Rasulullah akan menemuinya.”
Utusan itu sampai kepadanya dan menyampaikan pesan dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wanita itu berucap, “Jiwaku siap menjadi
tebusan jiwanya. Aku lebih pantas mendatangi beliau.” Maka wanita itupun
berdiri dengan bertelekan tongkat dan berjalan menemui Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia berucap salam dan beliaupun menjawabnya.
Lalu Rasulullah Shalallahu ’Alaihi wa Sallam bertanya, “Wahai Ummu
‘Alqamah, jujurlah kepadaku. Kalaupun kamu berdusta akan turun wahyu dari
Allah Ta’ala. Bagaimana keadaan anakmu ‘Alqamah?” Ia menjawab, “Wahai
Rasulullah, ia rajin menunaikan shalat, shiyam dan banyak bersedekah.”
Rasulullah bertanya lagi. ”Lalu bagaimana dengan dirimu?”. Wanita itu menjawab,”Wahai Rasulullah
aku murka dengannya.”. “Mengapa?” tanya beliau.
“Karena ia lebih mengutamakan istrinya dari pada diriku dan ia tidak
mau taat kepadaku.”, jawab Ummu ‘Alqamah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya murka Ummu ‘Alqamah menghalangi
lisannya untuk mengucapkan syahadat.” Beliau melanjutkan, “Bilal, pergi
dan bawakan untukku kayu bakar yang banyak.”. Wanita itu bertanya,
“Apa yang akan Anda lakukan, Wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab
“Aku hendak membakarnya dihadapanmu” Wanita itu menimpali,
“Wahai Rasulullah, ia adalah anaku. Hatiku tidak akan kuat menyaksikannya
dibakar dihadapanku.” . “Wahai Ummu ‘Alqamah, adzab Allah lebih dahsyat
lagi kekal. Jika kamu senang terhadap ampunan Allah baginya, ridhailah dia.
Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, shalat, shiyam, dan sedekahnya
tidak mendatangkan manfaat baginya selama kamu murka.”, sabda nabi.
Mendengarnya wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku bersaksi di
hadapan Allah, para malaikat, dan siapa saja yang hadir disini dari kaum
muslimin bahwa aku telah ridha kepada anakku,’Alqamah.” Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bilal, berangkat dan
lihatlah apakah ‘Alqamah sudah dapat mengucapkan ‘Laa ilaaha illallah’
atau belum. Bisa saja Ummu ‘Alqamah tadi mengatakan yang bukan dari lubuk
hatinya karena malu kepadaku” Bilal beramgkat dan melihat kondisi
‘Alqamah. Ia berkata,”Wahai sekalian orang, murka Ummu ‘Alqamah
menghalangi lidahnya dari syahadat, dan ridhanya telah melepaskan kekeluan
lidahnya.”
Pada
hari itu juga ‘Alqamah meninggal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
hadir, memerintahkan untuk memandikan dan mengkafaninya. Lalu beliau
menshalatkan dan menghadiri prosesi penguburannya. Beliau berdiri di ujung
kuburnya bersabda, “Wahai sekalian Muhajirin dan Anshar, barangsiapa
mengedepankan istrinya dari pada ibunya niscaya akan mendapatkan laknat
dari Allah, para malaikat, dan manusia semuanya. Allah tidak akan menerima
infaqnya juga sikap adilnya sehingga ia bertaubat kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan berbuat baik kepada-Nya serta memohonkan keridoan-Nya.
Keridloan Allah terletak pada keridloannya, kemurkaan Allah terletak pada
kemurkaannya.”
Kita
memohon kepada Allah semoga membimbing kita untuk menggapai keridlaan-Nya
dan menjauhkan kita dari sikap durhaka kepada orang tua.
Sesungguhnya Dia Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Penyayang, lagi Maha
Pengasih.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Ridho adalah kata sifat yang mudah diucapkan, namun juga kata kerja yang
sulit dilakukan. Ridho terhadap ketentuan Allah swt secara mutlak berarti
tidak menunjukkan keengganan ataupun penentangan terhadap takdir-Nya, manis
atau pahit.
2.
Dalam makna yang lain, Ridho dimutlakkan sebagai sikap senang dan bahagia
bagaimanapun keadaan hidup yang dialami
3.
Ridho atas ketentuan Allah berarti ikhlas dan nrimo atas semua
ketentuan yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat maupun ujian.
4.
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Dien menjelaskan bahwa Ridho adalah
buah dari cinta, Ia merupakan maqam tertinggi yang dapat mendekatkan
diri pada Allah. Ridho merupakan sababu dawami raf’i
al-hijab atau sebab yang dapat melanggengkan untuk menghilangkan hijab
(penghalang) dalam mendekatkan diri pada Allah SWT
5.
Metode mengetahui ridho Tuhan diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya
kepada hati sendiri, istafti qalbaka.
3.2 Saran
Sebagai seorang manusia tentunya kita harus mempunyai sifat ridho, karena
dengan adanya sifat ridho, kita bisa belajar tentang arti kesabaran. Sikap
ridho juga sangat bermanfaat dalam melatih kesabaran. Semua yang terjadi di
dalam kehidupan kita memang sudah diatur oleh Allah SWT. Maka jika memang tidak
sesuai denga kenyataan, kita harus belajar bersabar dan ridho terhadap
keputusan Allah SWT.
Ok
gan........sekarang sudah tahu kan artinya ridho..........??? tentunya kita
pernah dong menolong sesama manusia dan kebaikan tersebut harus diiringi dengan
sifat ridho agar terdapat kepuasan tersendiri dan tentunya Allah akan
menyukainya..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar