Senin, 01 September 2014

Makalah Aqidah Ahlaq tentang Ridho

Masih dalam rangka keagamaan, hari ini saya akan memberikan contoh makalah tentang Ridho. Oya, kira kira agan2 dah tahu gk pengertian ridho? Hehehe yaudah dech langsung aja dibaca dan semoga bermanfaat yah..........

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Telah menjadi sunnatullah bahwa setiap kejadian, mengandung kausalitas dan hikmah. Ada sebab dan ada akibat, disamping bertujuan. Adalah mustahil suatu cita-cita berhasil hanya dengan modal hayal dan bermalas-malas, tanpa suatu kerja dan usaha. Maka wajib ada factor usaha atau ikhtiar dan bertanggungjawab dari manusia. Usaha dan doa adalah kewajiban manusia, tetapi kepastian terakhir ada di tangan Allah (Nasruddin Razak: 1973: 221) Sebab Tuhan bukan semata-mata sebagai Causa Prima (Sebab Pertama) dan Ultimate yang principal, tetapi lebih dari itu, Dia adalah inti kenormatifan (Amien Syukur: 2004: 44) yang harus diimbangi dengan gerak kreatifitas manusia (ikhtiar- kasb). Persoalan seputar inilah yang di dalam terminology tauhid dikenal dengan istilah Qadha dan Qadar Allah.
Kepercayaan pada taqdir memberikan keseimbangan jiwa, tidak berputus asa karena sesuatu kegagalan dan tidak pula membanggakan diri atau sombong karena kemajuran, sebab segala sesuatu tidak hanya bergantung pada diri sendiri, malainkan juga kepada keharusan universal, mengembalikan segala sesuatu pada Allah SWT. “agar kamu tidak berputus asa atas kemalangan yang menimpamu, dan tidak pula terlalu bersuka ria dengan kemujuran yang datang padamu” (QS. Al-Hadid (57): 23.)
Kesiapan yang berimbang antara mendapatkan nikmat dan niqmah (cobaan)  inilah yang harus dimiliki oleh semua orang. Namun sering kali manusia hanya siap untuk menerima nikmat, dan tidak siap untuk menerima cobaan dan ujian Allah swt, disinilah diperlukan adanya Ridho  dalam menerima semua ketentuan Allah SWT.
Ridho merupakan makom atau stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh seorangsalik (pencari jalan Tuhan) setelah ia dapat melewati fase taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, dan cinta. (Amin Syukur: 1999: 49).

1.2  Rumusan Masalah
            Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian ridho?
2.      Bagaimana Menerima Ketentuan Allah dengan Lapang Dada?
3.      Bagaimana Bercermin pada Hati Nurani untuk mencapai Ridha?

1.3  Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian ridho.
2.      Untuk mengetahui bagaimana Menerima Ketentuan Allah dengan Lapang Dada.
3.      Untuk mengetahui bagaimana Bercermin pada Hati Nurani untuk mencapai Ridha.
 


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Ridho
            Ridho  adalah kata sifat yang mudah diucapkan, namun juga kata kerja yang sulit dilakukan. Ridho  terhadap ketentuan Allah SWT secara mutlak berarti tidak menunjukkan keengganan ataupun penentangan terhadap takdir-Nya, manis atau pahit. Abdullah ibn Alwi ibn Muhammad al-Haddad al-Husaini (tt: 37) mengatakan:
“Ridho terhadap ketetapan Allah adalah buah termulya dari Mahabbah dan Ma’rifah. Salah satu ukuran cinta adalah ridho terhadap perbuatan kekasihnya, baik itu manis ataupun pahit adanya. Oleh karenanya,  ridho dengan makna yang demikian adalah suatu keniscayaan untuk menyatakan keimanan seseorang terhadap Tuhan-Nya.
Dalam makna yang lain, Ridho  dimutlakkan sebagai sikap senang dan bahagia bagaimanapun keadaan hidup yang dialami (Ma'luful Anam, Lc: 2010). Sebagaimana ucapan para arif billah, “Ridho  adalah mengeluarkan seluruh ketidaksukaan terhadap ketentuan takdir dari dalam hati, sehingga tak ada padanya kecuali rasa senang dan bahagia terhadap ketentuan itu atau ia adalah kebahagiaan hati dalam merasakan pahitnya takdir sebagaimana merasakan manisnya atau juga ia adalah menerima hukum ilahi dengan senang hati” (Ahmad Fadlun ZR: 2010: 2).
Al-Samarkandi dalam “Tanbih al-Ghafilin” mengatakan:
“Keputusan Allah itu jauh lebih baik dari pada ketetapan seseorang terhadap dirinya sendiri,  (Ketahuilah wahai anak cucu Adam), apa yang telah ditetapkan Allah, (namun) kamu benci itu (sesungguhnya) lebih baik dari pada keputusanmu sendiri yang kamu sukai (Al-Samarkandi: tt: 221).
            Rabi’ah  al-Adawiyah, Seorang sufi wanita, pernah ditanya,” Kapankah seorang hamba menjadi Ridho?”,  Ia menjawab : “Bila ia merasa bahagia oleh keburukan (takdir) sebagaimana ia merasa bahagia oleh kenikmatan”. Sebagian Ulama’ salaf juga mengatakan: Jikalau tubuhku hancur karena sebab penyakit kusta yang menggerogoti dagingku, itu lebih baik dari pada saya harus mengatakan atas ketetapan Tuhan: “Seandainya hal ini tidak terjadi?”. (Al-Ghazali: tt: IV: 340).
            Ridho atas ketentuan Allah berarti ikhlas dan nrimo atas semua ketentuan yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat maupun  ujian.  Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Dien dalam bab al-Qaul fi Ma’na al-Ridho bi Qadhai Allah wa Haqiqatih wa Ma Warada fi Fadhilatih (tt: IV: 333-345), menjelaskan bahwa Ridho adalah buah dari cinta, Ia merupakan maqam tertinggi yang dapat mendekatkan diri pada Allah.  Ridho merupakan sababu dawami raf’i al-hijab atau sebab yang dapat melanggengkan untuk menghilangkan hijab (penghalang) dalam mendekatkan diri pada Allah SWT.
            Walaupun demikian, sebenarnya ridho tidak dapat digambarkan, adapun jika ridho timbul sebagai akibat dari cinta, mahabbah, bila gambaran mahabbah dan mabuk cinta, maka tidak dapat disamarkan bahwa cinta menyebabkan ridho terhadap tingkah dan perbuatan orang yang dicintainya, mahbubih, bahkan sampai-sampai panca indera tidak dapat merasakan sakit atas luka yang mengenai tubuhnya, sebab jika hati (al-kalb) telah tenggelam dimabukkan oleh sesuatu yang mengasikkan, ia tidak dapat merasakan apapun selain hal tersebut. (al-Ghazali: IV: 337).
            Dari ilustrasi diatas, kemudian bisa menimbulkan rasa “cuek” terhadap apa yang diperbuat oleh Sang Kekasih, apakah itu baik atau buruk, maka akan diterima dengan lapang dada dan ridho, sebagai mana ucapan Umar r.a :
“Aku tidak akan perduli, saya akan jadi kaya atau miskin, karena saya tidak mengetahui mana yang terbaik dari keduanya” (al – Ghazali: IV: tt: 343).
            Berbagai terpaan cobaan dan ujian yang diberikan oleh Tuhan, haruslah senantiasa diterima dengan penuh kerelaan dan lapang dada, karena bukankah tidak ada seorang mukminpun yang mampu merasakan manisnya iman kecuali dia memperoleh timpahan bencana, kemudian ia ridho dan bersabar, sabda Nabi : “barang siapa yang sakit semalam, serta sabar dan ridho kepada Allah Ta’ala, maka dosa-dosanya bersih, laksana baru dilahirkan ibunya” (Al-Ghazali: tt: 21).

2.2  Menerima Ketentuan Allah dengan Lapang Dada
            Seorang salik yang sudah bisa menata hatinya dengan ridho, maka ia tidak menentang cobaan dari Tuhan, tetapi bahkan menerimanya dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan tidak pula minta dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika mala petaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta pada Tuhan. Di sini ia telah dekat dengan Tuhan dan ia pun akhirnya sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan mata hatinya, untuk selanjutnya ia akan bersatu dengan Tuhan. (Amin Syukur : 1999: 52).
            Bahkan Abu Sulaiman al-Darani mengatakan: “Seandainya semua makhluk dimasukkan ke dalam Surga, dan aku dijerumuskan ke Neraka, maka aku akan ridho terhadap hal itu”. (Al-Ghazali: tt: IV; 339).
            Sikap menerima segala ketentuan Allah dengan perasaan senang, dan ridho ini akan membuahkan ridho Allah, dalam sebuah hadits disebutkan:
“Barang siapa yang ridha atas rizqi sedikit yang diberikan oleh Allah, maka Allah juga Ridha atas amal sedikitnya”.
            Walaupun hadits ini dinilai dhaif, (al-Ghazali: IV: tt: 334), namun hal ini bisa menjadi  motivasi bersama bahwa persoalan ridho atas ketentuan Allah adalah  persoalan yang sangat utama. Ridho Allah adalah dambaan setiap muslim yang menyadari bahwa itulah harta termahal yang pantas diperebutkan oleh manusia. Tanpa ridho Allah, hidup kita akan hampa, kering, tidak dapat merasakan nikmat atas segala apa yang telah ada di genggaman kita, bermacam masalah silih berganti menyertai hidup kita. Harta berlimpah, makanan berlebih namun  ketika tidak  ada ridho-Nya, semua menjadi hambar. Tidak tahu kemana tujuan hidup, merasa bosan dengan keadaan, seolah hari berlalu begitu saja,begitu cepat namun tanpa disertai dengan perubahan kebaikan hari demi hari.
Apa sebenarnya ridho Allah?, Mari simak ayat Al-Quran yang membahas hal ini:
“Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat,  juga kepada  orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalananan. Itulah yang lebih baik bagi orang yang mencari keridhaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ar-Rum : 38).
            Dalam  Ayat diatas,  ridho Allah ternyata di-lafald-kan dengan wajha Allah. Sering kita dengar perumpamaan ‘ih orang itu cari muka [wajah]‘  maksudnya cari perhatian.  Demikian pula jika kita mencari  “wajah Allah” atau perhatian  Allah atau yang lebih populer ridho-Nya, maka ada beberapa hal yang mesti kita lakukan, yaitu: memberikan  hak kerabat dekat, hak orang miskin, hak orang yang sedang dalam perjalanan.
            Memberikan hak orang yang dimaksud Allah bukan hanya bisa dilakukan oleh orang yang kelebihan harta namun bisa dilakukan oleh orang yang sadar dan ikhlas bahwa letak ketentraman hidup itu ada pada restu, ridho dan rahmat Allah. Boleh jadi rezeki yang Allah berikan pada kita hanya pas untuk makan sehari hari dan biaya hidup keluarga, namun ketika Allah telah berkenan memberi ridho-Nya, rezeki yang pas itu menjadi berkah, sehingga hari hari yang dilalui dalam hidup penuh dengan rasa syukur.
            Orang yang mengenal  (ma`rifat)  kepada Tuhan,  akan merasa ridho  atas apapun yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, selanjutnya iapun faham apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Nya. Jika orang merasa hidupnya diridhoi Tuhan maka ia pun merasa dirinya bermakna, dan dengan merasa bermakna itu, ia merasa sangat berbahagia. Sebaliknya jika seseorang merasa hidupnya tak diridhoi Tuhan, maka ia merasa semua yang dikerjakanya tidak berguna, dan bahkan iapun merasa dirinya tak berguna.
            Orang yang merasa kehadirannya berguna bagi orang lain maka ia akan memiliki semangat hidup, semangat bekerja, semangat berjuang, yang berat terasa ringan, pengorbanannya terasa indah. Sedangkan orang yang merasa dirinya tak berguna maka ia tidak memiliki semangat hidup, tidak memiliki semangat bekerja, merasa sepi di tengah keramaian dan lebih sepi lagi dalam kesendirian.
            Banyak hadits yang memerintahkan kita untuk selalu ridho atas semua pemberian Tuhan, daantaranya sebagaimana yang ditulis al-Ghazali, adalah sebagi berikut:
“Hai golongan orang fakir, berikanlah ridho (terhadap ketetapan) Allah dari lubuk hatimu, maka kamu akan beruntung dengan sebab pahala kefakiranmu, jika tidak, maka tidak dapat pahala”. (al-Ghazali: IV: tt: 337).
            Bahkan, seseorang yang tidak mau ridho atas ketetapan Tuhan, disuruh untuk mencari tuhan selain Allah:
“Aku adalah Allah, Tidak ada Tuhan selain Aku, siapa yang tidak sabar terhadap cobaan-Ku, tidak bersyukur terhadap nikmat-Ku, dan tidak ridho terhadap keputusan-Ku, maka buatlah tuhan selain Aku”. (al-Ghazali: IV: tt: 337).
Dalam redaksi yang dikutip oleh Abdullah al-Husaini, berbunyi:
“Barang siapa yang tidak ridho terhadap keputusan-Ku, dan tidak sabar atas cobaan-Ku, hendaklah ia melangkah mencari tuhan selain-Ku. (Abdullah al-Husaini: tt: 37).

2.3  Bercermin pada Hati Nurani untuk mencapai Ridha
            Semangat mencari ridho Tuhan sudah barang tentu hanya dimiliki oleh orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya sesat dan perilakunya juga sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang beragama minus Tuhan, karena toh setiap manusia memiliki akal yang besa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.
            Metode mengetahui ridho Tuhan juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri,  istafti qalbaka. Al-Ghazali bahkan memandang bahwa hakikat manusia adalah hati (qalb) (Dr. Simuh: 996: 87), Ia menggambarkan hati manusia sebagai “cermin”, sebagaimana dalam ungkapannya:  “itulah hati, apabila manusia mengenal hatinya, maka sungguh ia akan mengenal diri pribadinya. Dan apabila ia mengenal diri pribadinya, maka sungguh ia akan mengenal Tuhannya. Sebaliknya, jika manusia jahil terhadap hatinya, maka sungguh ia jahil terhadap dirinya, dan apabila ia jahil terhadap dirinya, maka sungguh ia jahil terhadap Tuhannya. Dan barang siapa jahil terhadap hatinya, maka terhadap lainnya jauh lebih jahil lagi” (al-Ghazali : III : tt : 2).
            Ungkapan diatas, menunjukkan betapa pentingnya hati, kalbu manusia, karena  orang bisa berdusta kepada orang lain, tetapi tidak kepada hati sendiri . Hanya saja kualitas hati orang berbeda-beda. Hati yang sedang gelap, hati yang kosong, hati yang mati tidak bisa ditanya. Hati juga sering tidak konsisten, oleh karena itu pertanyaan yang  pali ng  tepat adalah  kepada hati nurani, atau ke lubuk hati yang terdalam. Nurani berasal dari kata nur,  nuraniyyun yang artinya cahaya, yakni “cahaya ketuhanan” yang ditempatkan Tuhan di dalam hati manusia,  nurun yaqdzifuh Allah fi al- qalb. Jika hati sering tidak konsisten, maka hati nurani selalu konsisten terhadap kejujuran dan kebenaran. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung dengan ridho  Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme dan kemaksiatan.
            Persoalan dan problematika hidup manusia memang mengalami pasang surut, susah – senang, sedih – bahagia, dll merupakan sunnatullah yang memang harus dihadapi dengan lapang dada. Karena sudah menjadi hal yang lumrah bahwa semua yang terjadi pasti terkandung hikmah, adapun hikmah dibalik sikap ridho atas semua ketentuan Allah itu adalah:
a.              Membersihkan dan memilih mana orang mukmin sejati dan orang munafiq;
b.              Mengangkat derajad dan menghapus dosa;
c.              Mengungkapkan hakikat manusia itu sendiri, sehingga Nampak jelas kesabarannya dan ketaatannya;
d.             Membentuk dan menempa kepribadiannya menjadi pribadi yang benar-benar tahan menderita dan tahan uji;
e.              Latihan dan pembiasaan dalam berprinsip. (Hajjudin Alwi: 200: 43).
            Untuk mencari ridho Allah, para kaum sufi senantiasa mewirid-kan do’a yang berbunyi:
“Oh Tuhanku, Engkaulah Tujuanku dan ridha-Mulah yang kucari. Anugerahilah aku akan cinta kasih-Mu dan ma’rifat-Mu” (Kharisudin Aib: 999: 96)

Kisah Wafatnya Al Qomah r.a. (Ridho Seorang Ibu) :
            Dikisahkan, pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada seorang pemuda bernama ‘Alqamah. Ia seorang yang menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, mengerjakan sholat, shiam, dan bersedekah. Suatu hari ia sakit dan semakin hari semakin parah. Istrinya pun menyuruh seseorang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyampaikan, “Suamiku, Alqamah sedang sekarat. Dengan ini aku bermaksud mengabarkan keadaannya kepadamu, wahai Rasulullah.”

  Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus ‘Ammar, Shuhaib dan Bilal. Beliau bersabda, ”Berangkatlah kalian, dan talqinkanlah ia dengan kalimat syahadat.” Mereka bertiga berangkat dan memasuki rumahnya. Mereka mendapati ‘Alqamah sedang sekarat sehingga dengan segera mereka mentalqinnya dengan ucapan ‘Laa ilaaha illalLah’. Namun lidah ‘Alqamah kelu, tak mampu mengucapkan kalimat syahadat. Sahabat bertiga menyuruh seseorang menemui Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa ‘Alqamah tidak mampu mengucapkan kalimat syahadat.
            Nabi bertanya, “Adakah salah seorang ibu-bapaknya yang masih hidup?” seseorang menjawab, “Wahai Rasulullah seseorang ibu yang sudah sangat renta.” Maka beliaupun mengutus seseorang dan berpesan, “Katakan kepadanya jika ia kuat berjalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggilnya. Namun jika tidak hendaknya ia tetap tinggal dirumah, Rasulullah akan menemuinya.” Utusan itu sampai kepadanya dan menyampaikan pesan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wanita itu berucap, “Jiwaku siap menjadi tebusan jiwanya. Aku lebih pantas mendatangi beliau.” Maka wanita itupun berdiri dengan bertelekan tongkat dan berjalan menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia berucap salam dan beliaupun menjawabnya. Lalu Rasulullah Shalallahu ’Alaihi wa Sallam bertanya, “Wahai Ummu ‘Alqamah, jujurlah kepadaku. Kalaupun kamu berdusta akan turun wahyu dari Allah Ta’ala. Bagaimana keadaan anakmu ‘Alqamah?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, ia rajin menunaikan shalat, shiyam dan banyak bersedekah.” Rasulullah bertanya lagi. ”Lalu bagaimana dengan dirimu?”. Wanita itu menjawab,”Wahai Rasulullah aku murka dengannya.”. “Mengapa?” tanya beliau.
            “Karena ia lebih mengutamakan istrinya dari pada diriku dan ia tidak mau taat kepadaku.”, jawab Ummu ‘Alqamah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya murka Ummu ‘Alqamah menghalangi lisannya untuk mengucapkan syahadat.” Beliau melanjutkan, “Bilal, pergi dan bawakan untukku kayu bakar yang banyak.”. Wanita itu bertanya, “Apa yang akan Anda lakukan, Wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab “Aku hendak membakarnya dihadapanmu” Wanita itu menimpali, “Wahai Rasulullah, ia adalah anaku. Hatiku tidak akan kuat menyaksikannya dibakar dihadapanku.” . “Wahai Ummu ‘Alqamah, adzab Allah lebih dahsyat lagi kekal. Jika kamu senang terhadap ampunan Allah baginya, ridhailah dia.
            Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, shalat, shiyam, dan sedekahnya tidak mendatangkan manfaat baginya selama kamu murka.”, sabda nabi. Mendengarnya wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku bersaksi di hadapan Allah, para malaikat, dan siapa saja yang hadir disini dari kaum muslimin bahwa aku telah ridha kepada anakku,’Alqamah.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bilal, berangkat dan lihatlah apakah ‘Alqamah sudah dapat mengucapkan ‘Laa ilaaha illallah’ atau belum. Bisa saja Ummu ‘Alqamah tadi mengatakan yang bukan dari lubuk hatinya karena malu kepadaku” Bilal beramgkat dan melihat kondisi ‘Alqamah. Ia berkata,”Wahai sekalian orang, murka Ummu ‘Alqamah menghalangi lidahnya dari syahadat, dan ridhanya telah melepaskan kekeluan lidahnya.”
            Pada hari itu juga ‘Alqamah meninggal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hadir, memerintahkan untuk memandikan dan mengkafaninya. Lalu beliau menshalatkan dan menghadiri prosesi penguburannya. Beliau berdiri di ujung kuburnya bersabda, “Wahai sekalian Muhajirin dan Anshar, barangsiapa mengedepankan istrinya dari pada ibunya niscaya akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat, dan manusia semuanya. Allah tidak akan menerima infaqnya juga sikap adilnya sehingga ia bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbuat baik kepada-Nya serta memohonkan keridoan-Nya. Keridloan Allah terletak pada keridloannya, kemurkaan Allah terletak pada kemurkaannya.”
            Kita memohon kepada Allah semoga membimbing kita untuk menggapai keridlaan-Nya dan menjauhkan kita dari sikap durhaka kepada orang tua.  Sesungguhnya Dia Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Penyayang, lagi Maha Pengasih.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1.            Ridho  adalah kata sifat yang mudah diucapkan, namun juga kata kerja yang sulit dilakukan. Ridho  terhadap ketentuan Allah swt secara mutlak berarti tidak menunjukkan keengganan ataupun penentangan terhadap takdir-Nya, manis atau pahit.
2.            Dalam makna yang lain, Ridho  dimutlakkan sebagai sikap senang dan bahagia bagaimanapun keadaan hidup yang dialami
3.            Ridho atas ketentuan Allah berarti ikhlas dan nrimo atas semua ketentuan yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat maupun  ujian. 
4.            Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Dien menjelaskan bahwa Ridho adalah buah dari cinta, Ia merupakan maqam tertinggi yang dapat mendekatkan diri pada Allah.  Ridho merupakan sababu dawami raf’i al-hijab atau sebab yang dapat melanggengkan untuk menghilangkan hijab (penghalang) dalam mendekatkan diri pada Allah SWT
5.            Metode mengetahui ridho  Tuhan diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri,  istafti qalbaka.

3.2 Saran
            Sebagai seorang manusia tentunya kita harus mempunyai sifat ridho, karena dengan adanya sifat ridho, kita bisa belajar tentang arti kesabaran. Sikap ridho juga sangat bermanfaat dalam melatih kesabaran. Semua yang terjadi di dalam kehidupan kita memang sudah diatur oleh Allah SWT. Maka jika memang tidak sesuai denga kenyataan, kita harus belajar bersabar dan ridho terhadap keputusan Allah SWT.

Ok gan........sekarang sudah tahu kan artinya ridho..........??? tentunya kita pernah dong menolong sesama manusia dan kebaikan tersebut harus diiringi dengan sifat ridho agar terdapat kepuasan tersendiri dan tentunya Allah akan menyukainya.......... 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar