MAKALAH
PEMERINTAHAN ORDE BARU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bhineka Tunggal Ika. Ini salah satu ciri khas Bangsa Indonesia. Beraneka ragam Suku Bangsa,
Bahasa dan Agama yang mengakibatkan keanekaragaman Adat Istiadat dan Budaya.
Kemajemukan ini merupakan Anugerah besar dari Alloh SWT. di satu sisi, tapi
menimbulkan permasalahan besar dalam pengelolaannya.
Bagaimana tidak? Diperlukan pengetahuan yang luas mengenai keinginan
dan kebutuhan tiap individu dan golongan. Diperlukan kebijaksanaan yang tinggi
untuk mengatur penyelenggaraan berbagai kepentingan. Diperlukan keadilan yang
luhur untuk membagi sumber daya alam kepada seluruh penduduk yang memiliki hak
yang sama.
Mengetahui rumitnya persoalan di atas, menjadi menarik untuk mengkaji
bagaimana seharusnya Tipikal dan Kinerja seorang Kepala Negara yang sekaligus
merangkap Kepala Pemerintahan, di bumi Allah ini. Mengingat
Orde Baru adalah rejim yang paling lama berkuasa, alangkah bijak kita
mempelajarinya untuk menjadi pelajaran berharga bila kelak kesempatan memimpin
itu datang.
1.2 Rumusan Masalah
Bangsa Indonesia
adalah Bangsa besar yang majemuk. Untuk mencapai Masyarakat yang sejahtera
dalam arti terpenuhi semua kebutuhan hidup dengan aman dan damai serta adil,
sangat tergantung kepada siapa yang memimpin dan apa tujuan dari kepemimpinannya
tersebut.
Berdasarkan hal di atas, timbul pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana Tipikal seorang Soeharto yang dapat
bertahan selama 32 tahun berkuasa di Indonesia ?
2. Bagaimana arah kebijaksanaan Bapak Pembangunan
beserta Jajarannya dalam memenuhi seluruh kepentingan Rakyat Indonesia dari
Sabang sampai Merauke ?
3. Apa saja Hasil yang telah didapat Bangsa ini
selama masa pemerintahan Orde Baru tersebut ?
1.3 Tujuan Penulisan
Menyimak latar belakang dan mengetahui rumusan masalah di atas, ada
beberapa tujuan yang hendak dicapai. Sebagai sorang Pelajar dan sekaligus salah
satu Rakyat Indonesia yang merasa ikut memiliki kebesaran Indonesia, tujuan
yang dicanangkan adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan Umum tentang bagaimana seharusnya
kita hidup bernegara dan berbangsa,
2. Menjadi pelajaran hidup tentang sebuah
perjuangan panjang untuk membangun sebuah Bangsa menjadi besar,
3. Memetik hikmah untuk mengikuti yang baik dan
meninggalkan yang buruk, kelak ketika jabatan sudah ada di tangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Orde Baru
Orde Baru
adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden
Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada
era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir
dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde
Lama Soekarno.
Orde Baru berlangsung
dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam
jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski
hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara
ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin
melebar.
B. Masa Jabatan Soeharto
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai
presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto
memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan
pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB
lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan
kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan
PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada
tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap
orang-orang yang terkait dengan Partai
Komunis Indonesia.
Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak
yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan
sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal
diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif.
Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut
dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih
perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun
dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan
seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering
kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap
provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara
pusat dan daerah.
Soeharto
siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang
diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi
dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan
pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir
serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Selama
masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber
daya alam secara besar-besaran
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.
Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
c. Warga Tionghoa
Warga
keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967,
warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus
hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa
Mandarin dilarang, meski kemudian
hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian
Indonesia yang sebagian artikelnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini
adalah ABRI meski beberapa orang
Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang.
Akibatnya agama Konghucu kehilangan
pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru
berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih
5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa
dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Di masa Orde Baru
pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media
massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah
satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang
padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini
adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan
terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul
tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak
semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era
Reformasi
konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil
dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh
ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Perkembangan
GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari
AS$1.000
·
Sukses
swasembada pangan
·
Pengangguran
minimum
·
Sukses REPELITA (Rencana
Pembangunan Lima Tahun)
·
Sukses
Gerakan Wajib Belajar
·
Sukses
Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
·
Sukses
keamanan dalam negeri
·
Investor asing mau
menanamkan modal di Indonesia
·
Sukses menumbuhkan rasa
nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
·
Pembangunan
Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot
ke pusat
·
Munculnya
rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama
di Aceh dan Papua
·
Kecemburuan
antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
·
Bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)
·
Kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan
·
Kebebasan
pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan yang dibreideli
·
Penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (petrus)
·
Tidak
ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintahan presiden selanjutnya)
Pada
pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk
lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga
minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan
modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa,
meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang
meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR
melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Mundurnya
Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru,
untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".
Masih
adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada
masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru
masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut
sebagai "Era Pasca Orde Baru".
H. Sistem Politik Orde Baru Tidak Bisa Memberantas
Korupsi
Reaksi
terhadap tulisan Sdr Anwar Hasyim “ Betulkah kekayaan Presiden Suharto mencapai
16 milyar dollar AS ?” (Apakabar 23 Juli 1997) dan tulisan Sdr Atmo Prakoso “Korupsi hanya
bisa dibrantas kalau Pak Harto turun jabatan dan sistem politik Orde Baru
diganti” (Apakabar 19 Juli 1997)
-
Korupsi yang merajalela di
Indonesia adalah produk atau akibat sistem politik dan struktur kekuasaan
-
Korupsi hanya bisa
dibersihkan sesudah gulung tikarnya Orde Baru
lewat revolusi politik Oleh : Mohtar Rivai (yang pernah ikut dalam pertempuran
10 November 1945 di kota Surabaya dan sekitarnya)
Dalam
tulisan-tulisan yang sudah disiarkan lewat Apa kabar, sudah sering dikemukakan bahwa kehadiran Pak Harto di pucuk
pimpinan negara merupakan sumber dari banyak penyakit parah dan penyebab
terjadinya berbagai “ketidakberesan” dalam kehidupan bangsa. Juga telah sering
diungkap, bahwa selama Pak Harto masih menjadi presiden, maka segala usaha
untuk mengadakan perbaikan atau perobahan yang mendasar dalam kehidupan politik
dan pemerintahan akan sia-sia belaka. Dan, bahwa perobahan lewat digulingkannya
Orde Baru secara politik adalah satu-satunya jalan untuk dapat dibrantasnya
korupsi dan kolusi.
Sepintas lalu, bagi
sementara orang, kalimat-kalimat itu bisa dianggap “berbau subversif” dan
mengandung unsur-unsur “destabilisasi kekuasaan yang sah”, “melawan
undang-undang” atau, se-tidak-tidaknya menghina nama baik kepala negara.
Sebaliknya, realitas yang terdapat di negara kita selama 30 tahun Orde Baru
telah menyajikan banyak bukti-bukti bahwa sistem politik, yang dipaksakan oleh
Pak Harto dengan berbagai cara, memang telah menjuruskan bangsa kita ke muara
kerusakan moral yang serius dan kemacetan kehidupan demokratis.
Tulisan Sdr Anwar
Hasyim menyebutkan, antara lain : “Terlepas dari soal sampai mana kebenarannya,
tersiarnya berita tentang kekayaan Presiden Soeharto sebesar 16 milyar US$
menunjukkan bahwa sistem politik Orde Baru sudah perlu dirobah, bahkan dibuang
sama sekali, untuk diganti dengan sistem yang lebih sesuai dengan arus zaman,
dan yang bisa menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang beradab.
Reformasi politik sudah makin terasa urgen, yang bisa mencegah adanya seorang
kepala negara bisa memonopoli kekuasaan yang begitu besar, sehingga tidak bisa
lagi dikontrol oleh rakyat, melalui lembaga-lembaga yang mewakili kepentingan
publik. Tetapi, berdasarkan pengalaman selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru,
kita telah menyaksikan bahwa reformasi di bidang politik adalah tidak mungkin.
Sistem politik yang dikendalikan oleh Presiden Suharto tidak menghendaki adanya
perobahan atau perombakan.”
Untuk melengkapi
fikiran-fikiran yang sudah diutarakan di atas, bisalah kiranya ditambahkan
bahwa hanyalah ilusi belaka, kalau ada orang yang beranggapan bahwa
perbaikan-perbaikan mendasar bisa diadakan selama sistem politik model Orde
Baru masih ditrapkan secara paksa di bumi Indonesia. Tentu saja, segala macam sarjana
politik bisa saja terus membuat makalah-makalah mengenai perlunya perbaikan,
dan baik jugalah bahwa pakar-pakar ekonomi mengajukan fikiran-fikiran tentang
bagaimana membrantas korupsi, dan berguna pulalah bahwa ahli-ahli hukum terus
memprotes penyelewengan-penyelewengan yang banyak terjadi. Ini semua perlu
dilakukan terus. Tetapi, adalah hanya khayalan besar saja, kalau ini semua
dilakukan dengan dasar fikiran bahwa perbaikan mendasar dan perobahan radikal
bisa terjadi selama Orde Baru masih tegak.
Perbaikan dan
perobahan di Indonesia tidak bisa dilakukan “DALAM sistem” atau “BERSAMA
sistem” Orde Baru. Perobahan fundamental hanya bisa terjadi dengan
mengusahakannya lewat perjuangan yang dikembangkan oleh kekuatan politik
“DILUAR sistem”. Dan itu berarti bahwa perjuangan kekuatan politik “diluar
sistem” ini, pada akhirnya, akan bentrokan dengan “sistem” politik Orde Baru.
Bentrokan ini bisa terwujud dalam berbagai bentuk dan cara, dan dalam berbagai
bidang, dan tidak mesti atau selalu harus melalui kekerasan fisik yang
mengakibatkan korban darah, harta-benda atau nyawa. Bentrokan antara yang
menginginkan perobahan (yang terdiri dari berbagai golongan dalam masyarakat)
dan yang menentang perobahan (Presiden Soeharto, Golkar, Abri dan sebagian dari
birokrasi) adalah hal yang terelakkan.
Bentrokan-bentrokan
ini sudah terjadi sejak berdirinya Orde Baru, secara sporadis di-sana-sini dan
dalam skala yang relatif masih kecil, dan karenanya mudah ditumpas. Selama dua
tahun terakhir ini, bentrokan-bentrokan ini makin mencuat, dan mengambil bentuk
yang lebih berarti, sampai memakan korban jiwa dan harta-benda. Demonstrasi
besar-besaran di Gambir tahun 1996, peristiwa penyerbuan gedung PDI Jalan
Diponegoro, peristiwa Ujungpandang, Situbondo, Tasikmalaya, Sampang, Bangil
Pasuruan, dan kerusuhan dalam kampanye pemilu 97 adalah bagian dari
gelombang-gelombang perbenturan-perbenturan dengan sistem politik Orde Baru.
Dipenjarakannya sejumlah pemuda-pemudi pimpinan PRD dan PUDI dan Pakpahan juga
bukti tentang terus berlangsungnya bentrokan politik. Demikian juga pemogokan
buruh di mana-mana, dan aksi-aksi massa untuk mendukung perjuangan politik dan
gerakan moral Megawati.
Mengusahakan
perobahan yang fundamental (revolusi politik), adalah hak rakyat Indonesia, dan
bahkan merupakan kewajibannya. Dalam kaitan ini, bisalah diartikan bahwa usaha
berbagai gerakan pro-perobahan atau pro-demokrasi di Indonesia untuk mengganti
sistem politik dan pemerintahan yang sekarang adalah perjuangan politik yang
sah dan gerakan moral yang mulia. Adalah hak dan kewajiban warganegara
Indonesia untuk menyatakan perang jihad terhadap korupsi dan kolusi yang
dijalankan oleh pejabat-pejabat Orde Baru di berbagai kalangan. Adalah hak dan
kewajiban warganegara Indonesia untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan secara
se-wenang-wenang. Adalah hak dan kewajiban warganegara Indonesia untuk tidak
tunduk kepada peraturan-peraturan Orde Baru yang salah dan merugikan rakyat
banyak.
Tidak menyukai
sistem politik Orde Baru, bahkan menentangnya pula, adalah hak politik rakyat.
Jelasnya, menentang suatu politik Orde Baru bukanlah suatu kejahatan, dan bukan
pula sesuatu yang terlarang. Dalam situasi tertentu dalam sejarah rakyat
Indonesia, bahkan menentang suatu politik pemerintahan adalah tindakan yang
benar dan merupakan missi yang mulia. Dalam kaitan ini baik jugalah kiranya
kita ingat perjuangan para perintis kemerdekaan yang sudah “melanggar hukum
yang berlaku” atau yang menentang “peraturan-peraturan yang sah” dari
pemerintah kolonial Belanda (dan Jepang), sehingga mereka meringkuk di banyak
penjara kolonial dan dibuang ke Digul. Sejarah perjuangan Bung Karno dan Bung
Hatta bisa memberikan contoh.
Sistem politik Orde
Baru dibawah komando Presiden Soeharto adalah sistem kekuasaan yang tidak mau
menerima kontrol dari rakyat dan memandang rendah martabat rakyat. Padahal,
prinsip-dasar demokrasi, atau jiwa demokrasi, adalah bahwa rakyatlah yang harus
menjalankan kedaulatannya. Kasarnya, rakyatlah yang memerintah. Prinsip inilah
yang telah dianggap sepi saja oleh struktur kekuasaan politik Orde Baru.
Struktur kekuasaan Orde Baru telah menjadikan perangai para penguasa menyerupai
pemilik-tunggal negeri ini, yang dengan kepongahan telah menjadikan rakyat
sebagai kuda tunggangan, sambil menjarah kekayaan negeri secara beramai-ramai.
Pengertian-dasar
republik (res publica), yalah bahwa segala sesuatunya adalah demi dan untuk
umum. Umum/rakyat/publik , yaitu pemilik negeri ini, “meminjamkan” kekuasaan
kepada pemerintah, termasuk kepada presiden republik, untuk mengatur negara dan
menjalankan pemerintahan. Mereka ini, para penguasa (termasuk presiden) adalah,
kasarnya, “pegawai” rakyat. Rakyatlah yang membayar gaji mereka. Mereka
dipinjami – oleh rakyat - kekuasaan untuk mengatur negeri, dan bukan untuk
menyalahgunakaan kekuasaan, termasuk melakukan korupsi dan kolusi guna
memperkaya diri. Karenanya, pemerintah, termasuk presiden, harus memberikan
pertanggungan-jawab kepada rakyat (antara lain, lewat dewan perwakilan rakyat).
Tetapi, sistem
politik Orde Baru sudah merusak dan menjungkir-balikkan ini semua. Presidennya
sudah mengangkat dirinya sebagai raja absolut, dengan mengangkangi kekuasaan
yang luar biasa besarnya. Selama 30 tahun menjabat kedudukan sebagai presiden,
berbagai tindakan atau tingkah-lakunya menunjukkan bahwa ia sudah “lupa” kepada
prinsip-dasar “res publica”, yaitu bahwa kekuasaan yang dipegangnya adalah
sebenarnya pinjaman dari rakyat, untuk ikut mengatur negeri, dan bukannya untuk
mengumpulkan kekayaan yang sampai 16 milyar US$. ! Perangai yang serupa juga
diperlihatkan oleh banyak pejabat-pejabat Orde Baru di berbagai tingkat, yang
sering menunjukkan dengan kecongkakan - yang tidak sepantasnya - bahwa mereka
menganggap negeri ini adalah hanyalah milik mereka sendiri saja. Kita bisa
saksikan gejala-gejala semacam ini di Jakarta, di propinsi, di kabupaten dan di
kecamatan di seluruh Indonesia. Tingkah-laku pejabat-pejabat ini membuktikan
bahwa mereka “lupa” bahwa missi mereka adalah mengabdi kepada kepentingan
rakyat, dan bukannya untuk memperalat atau memusuhi rakyat. Skali lagi, mereka
adalah “pegawai” rakyat, dan bukan sebaliknya, menjadi “tuan” yang berdiri di
atas rakyat.
Sudah 30 tahun
lamanya, kita menyaksikan bahwa sistem kekuasaan Orde Baru ini dengan arogansi
telah meremehkan martabat rakyat, memandang rendah daya fikir rakyat,
menganggap sepi aspirasi rakyat. Dengan kesombongan “kekuatan senjata” sistem
ini telah “menggebug” berbagai golongan dalam masyarakat yang tidak menyokong
politik Orde Baru, dan yang ingin ikut juga “berbicara” mengenai urusan-urusan
republik sebagai pemilik-bersama negeri ini. Rakyat, yang merupakan sumber
“mandat” fihak eksekutif (presiden, kejaksaan agung, kepolisian, Abri dll)
telah dibungkam mulutnya, dan diborgol gerak-geriknya. Pemerintah telah
memandang rakyat sebagai fihak yang harus “dihadapi” sebagai lawan, dan
bukannya kawan, dengan jalan memaksakan 5 UU Politik : UU Pemilu (UU N°
1/1985), UU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU N° 2/1985), UU
tentang partai politik dan Golkar (UU N°3/1985), UU tentang referendum (UU
N°5/1985), dan UU tentang ormas (UU N°8/1985).
Dengan lima UU
Politik ini, sistem kekuasaan Orde Baru telah membatasi kegiatan-kegiatan
masyarakat dalam bidang politik, menutup saluran-saluran aspirasi demokratik,
mencegah golongan-golongan dalam masyarakat untuk mempersoalkan problem-problem
besar negara dan rakyat. Lima UU Politik ini digunakan untuk membiarkan rakyat
“bodoh politik”, sehingga mudah dimanipulasi dan “ditundukkan”. Juga untuk
mencegah lahirnya kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang bisa mempersoalkan
“missi” Orde Baru. Akibatnya : organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda
menjadi lemah, buruh-buruh dibiarkan menderita pemerasan tanpa pembelaan,
dewan-dewan perwakilan rakyat menjadi kumpulan togog-togog yang tidak pantas
dan tidak berhak menamakan diri “wakil rakyat”, hakim dan jaksa tidak berani
menjalankan tugasnya secara jujur, penyimpangan tugas dan penyelewengan jabatan
merajalela. Korupsi pun berkembang tanpa kendali.
Keparahan dan
kerumitan problem yang diakibatkan oleh Lima UU Politik menjadi lebih serius
lagi bagi kehidupan bangsa dengan ditrapkannya, secara buruk, konsep Dwifungsi
ABRI oleh Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto. Karena pentrapan yang
buruk inilah maka citra ABRI sebagai tentara rakyat sudah tercemar. Orde Baru
membuat dosa besar dalam sejarah bangsa, karena telah merusak ABRI. Rakyat kita
membutuhkan ABRI yang bisa dibanggakan sebagai pembela bangsa dan negara,
seperti yang pernah kita punyai sebelum Orde Baru berkuasa. Waktu itu kita senang
mendengar perumpamaan bahwa hubungan ABRI dengan rakyat adalah ibarat ikan
dengan air. Tetapi, sekarang ini, perumpamaan itu sudah tinggal menjadi gombal
belaka.
Pentrapan yang buruk
konsep Dwifungsi ABRI oleh Orde Baru sudah membuat kerusakan-kerusakan besar di
berbagai bidang. Terutama sekali dalam bidang moral di kalangan ABRI. Dengan
konsep inilah sistem politik Presiden Suharto telah membikin ABRI terlibat,
terlalu jauh dan terlalu dalam, dalam urusan-urusan yang bukan bidangnya,
terutama di bidang politik. Dengan dalih stabilisator, dinamisator, penjaga UUD
45, pengaman Pancasila, tokoh-tokoh ABRI di berbagai tingkat, telah ditempatkan
di-mana-mana : dalam pemerintahan sipil, dalam berbagai macam lembaga politik,
dalam sektor-sektor ekonomi, dalam diplomasi dan 1001 bidang lainnya. Pentrapan
yang salah konsep Dwifungsi telah melahirkan jaring-jaringan kekuasaan yang
ditugaskan untuk mempertahankan tegaknya Orde Baru. Artinya, ditugaskan untuk
mempertahankan statusquo dan berhadapan dengan arus perobahan dan perombakan.
Kita bisa mengharapkan bahwa angkatan muda dalam ABRI akhirnya, pada waktunya,
bisa mengkoreksi kesalahan-kesalahan besar ini, untuk mengembalikan
kedudukannya dalam tempat yang terhormat dalam hati rakyat.
Singkatnya,
mengingat struktur kekuasaan yang dibangun oleh Orde Baru dibawah pimpinan
Presiden Soeharto, kita tidak bisa mengharapkan bahwa perbaikan atau perobahan
bisa diusahakan oleh dan lewat sistem politik yang ada sekarang ini, termasuk
masalah pembrantasan korupsi. Budaya korupsi sudah “built-in”, sudah inheren,
sudah “dari sononya” pada sistem politik Presiden Suharto. Tidak mungkin akan
ada “gebrakan” yang berarti yang bisa diharapkan dari sistem ini untuk
memerangi korupsi dan kolusi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas
penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Disamping memiliki kekurangan, orde baru juga memiliki beberapa
kelebihan salah satunya sukses memerangi buta huruf.
3.2 Saran
Setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Alloh SWT. atas apa
yang telah dilakukannya selama hidup. Apalagi seorang Pemimpin dari ratusan
juta orang. Selain mempertanggungjawabkan kepada Alloh SWT. juga harus
mempertanggungjawabkan kepada orang – orang yang ada di bawah kepemimpinannya. Berdasarkan hal di atas, saran – sarannya adalah :
1. Sayang kepada keluarga sungguh mulia, tapi bila
merugikan Bangsa dan Negara maka ini sudah merupakan perbuatan kriminal. Bisa
dicontoh perbuatan Khalifah Umar Bin Abdul ‘Aziz yang mematikan lampu dari
biaya Negara ketika akan membicarakan urusan keluarga dengan putranya.
2. Memilah dan memilih Hubungan Kerja Sama dengan
Negara atau Organisasi Internasional yang menguntungkan Bangsa dan Negara bukan
hanya dalam jangka waktu pendek, tapi juga dalam jangka waktu panjang. Contoh :
Ruginya Bangsa dan Negara oleh IMF dan akibat Freeport yang konfliknya terus
berkepanjangan sampai saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar